Menurut Imran, pengawalan aksi tersebut bukan sekadar agenda seremonial yang mencari keuntungan, melainkan bentuk tekanan moral agar para pejabat Polda Sulsel lebih serius dan objektif dalam menyikapi tuntutan massa. Imran menilai, persoalan yang disuarakan dalam aksi tersebut menyentuh aspek fundamental penegakan hukum yang tidak melahirkan rasa keadilan HUKUM Sehingga berakibat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Imran juga menyebutkan, sejak awal penanganan perkara terlapor Ishak Hamzah, dimana Ishak hamsa sendiri juga sudah berulang kali menyampaikan keberatan dan penjelasan terhadap penyidik. terkait terdapatnya kekeliruan penyelidikan penyidik, termasuk kepada para pejabat di Polrestabes Makassar hingga pada lingkup Polda Sulsel.
Namun Keberatan Ishak Hamzah tersebut terkait dengan kekeliruan penyidik dalam mendalami unsur Pasal 167 KUHP justru tidak mendapatkan hasil yang positif.
Menurut Imran, secara fakta juga terdapat dimana pengaduan Ishak Hamzah dalam penerapan pasal 167 juga tidak mendapatkan pedulian para pejabat Polda dan Polrestabes Makassar, sebagai responitas yang berintegritas ” ujarnya.
Kemudian tidak berhenti pada adanya pengesampingan pengaduan Ishak semata,
namun Imran juga menyebut Ishak Hamzah justru kembali menghadapi tuduhan yang lebih serius lagi yaitu menggunakan surat palsu sebagaimana yang dimaksud Pasal 263 ayat (2) KUHP, yang lahir berdasarkan rekomendasi Kabag Wasidik Polda Sulsel, Kadar Islam, pada tahun 2023.
Lalu kemudian Imran juga menguraikan secara rinci duduk perkara tersebut, dimana dalam penetapan tersangka Pasal 167 KUHP, penyidik berdasarkan hanya pada dua alat bukti. Yaitu, penyidik tidak menemukan nama kakek Ishak Hamzah, Soeltan bin Soemang, dalam salinan Buku F di Kelurahan Barombong.
Kemudian bukti penyidik yang kedua, Penyidik jadikan penguasaan fisik lahan Ishak Hamzah sebagai pemenuhan unsur Pasal 167 KUHP.
Kemudian surat-surat tanah yang dimiliki Ishak Hamzah dianggap tidak memiliki nilai pembuktian oleh penyidik. Menurut Imran,
hal tersebut ujar Imran tentunya
merupakan kekeliruan penyidik yang sangat serius.
"masa penyidik menjadikan Buku F di kelurahan sebagai alat bukti otentik yang bersifat final,” tegas Imran, padahal Buku F yang berada di kelurahan hanyalah bersifat salinan, bukan buku induk.
“Secara hukum, alat bukti yang bersifat salinan tentu tidak boleh dijadikan sebagai alat bukti final, melainkan hanyalah sebagai alat bukti petunjuk. Nah sekarang kita bisa melihat dari penanganan pasal 167, dimana penyidik adanya unsur keberpihakan terhadap Pelapor," ujarnya.
Lanjut Imran juga mempertanyakan logika penyidik yang menjadikan penguasaan fisik Ishak Hamzah di atas tanah meliknya sendiri, "kok dijadikan sebagai unsur pemenuhan unsur-unsur Pasal 167 KUHP. Ini logika yang terbalik dan berbahaya bagi kepastian hukum,” tutur Imran.
Selanjutnya dari peristiwa penanganan Pasal 167 yang sudah bobrok dan keliru.' Imran Juga menambahkan adanya penambahan Pasal 263 ayat (2) KUHP sebagai penambahan pasal Penzoliman Kabag Wasidik Polda Sulsel terhadap Ishak Hamzah sendiri.
dimana sejarah dimunculkanya pasal 263 ayat 2 berawal ditemukannya perbedaan persil oleh salah satu peserta gelar perkara khusus bernama Agus Khaerul yang saat itu masih berpangkat Kompol.
dan materil perkara Ishak Hamzah sudah berulang ulang kali menjelaskan terhadap kepolisian Polda dan Polrestabes Makassar bahwa terdapatnya perbedaan persil antara persil 31 dalam warkah tanah Ishak Hamzah sendiri dan Persil 32 dalam penetapan kewarisan Ishak Hamzah yang dikeluarkan Pengadilan Agama. Itu bukanlah kesalahan Ishak Hamzah selaku pemohon melainkan kesalahan Internal Pengadilan agama yang salah pengetikan.
Hal itu dapat kita logikakan yang sangat sederhana sekali, ujar Imran.
dimana Ketika seseorang mengajukan permohonan penetapan kewarisan ke pengadilan, apakah putusan pengadilan yang harus menyesuaikan warkah pemohon, atau warkah pemohon yang harus mengikuti putusan?” ujar Imran.
tentu dari pertanyaan tersebut tentulah kewajiban pengadilan yang harus mengikuti warkah pemohon dalam mengajukan permohonan penetapan kewarisan. Bukan justru sebaliknya " ujar Imran.
Berdasarkan rangkaian kejanggalan tersebut, Imran menilai terdapat adanya praktik mafia hukum dalam penanganan kasus pasal 167 maupun penambahan pasal 263 ayat 2.
Kejanggalan lain setelah barang bukti perbedaan persil para konspirasi mafia tanah tidak mampu menjadikan sebagai landasan pasal 263 ayat 2. Lalu kemudian penyidik lanjutkan pada penggunaan barang bukti dalam perkara Pasal 263 ayat (2) ditahun 2025, berupa surat tanah Simana Buttayya yang disebut-sebut berasal dari hasil scan.
Lalu kemudian faktanya, penyidik tidak pernah menemukan surat tanah hasil scan yang dianggap palsu itu berada di tangan Ishak Hamzah. Bahkan tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan bahwa Ishak Hamzah pernah menggunakan surat tersebut, sekalipun surat itu mungkin berada di tangan pihak lain,” tegasnya.
Atas kondisi tersebut, Imran menegaskan kembali seruannya kepada pimpinan dan pejabat Polda Sulsel agar tidak menutup mata dan hati terhadap permintaan keadilan masyarakat yang di kumandangkan peserta aksi terhadap korban HAM berat Ishak Hamzah selaku masyarakat yang membutuhkan keadilan hukum, dan meminta agar seluruh proses hukum dievaluasi secara objektif, transparan, dan profesional yang dimana dari semua peristiwa hukum yang kami paparkan itu sudah mendapat putusan pra pradilan di Pengadilan Negeri Makassar, yang menyatakan penahanan badan dan status tersangka Ishak Hamzah semuanya gugur dan tidak mengikat.
Dengan demikian fakta berkumandan Polda Sulsel melindungi jaringan mafia hukum selaku pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh jaringan oknum kepolisian Polda Sulsel dan Polrestabes Makassar. Sebab sampai hari ini tidak ada penegasan Propam Polda dan Polda Sulsel secara terbuka terkait penindakan jaringan mafia hukum yang terlibat melakukan pelanggaran HAM berat.
“Jangan sakiti hati rakyat. Penegakan hukum harus berdiri di atas kebenaran dan keadilan, bukan kepentingan,” pungkas Imran.
Sementara itu, Ketua Gerakan Mahasiswa Pemuda (GMP) gerakan mahasiswa Pemuda Elang Timur Indonesia, Pahlevi, turut menyuarakan seruan aksi dalam mengawal aspirasi masyarakat sebagai bentuk kepekahan organisasi Nasional Elang Timur Indonesia atas peristiwa kasus yang menimpa Ishak Hamzah selaku korban HAM berat.
Pahlevi juga menegaskan gerakan aksi ini tidak hanya berada pada kewajiban tugas fungsi organisasi Elang Timur Indonesia, namun juga gerakan aksi tersebut murni yang ber'azaskan nilai-nilai rasa kemanusiaan dan keagamaan.
Dimana setiap aspek kehidupan ini tentunya memiliki kewajiban yang sama untuk saling peduli antara sesama terhadap kebenaran dan kebaikan.
“untuk itu kami berharap para pejabat Polda Sulsel agar tidak melakukan pengabaian atas tuntutan gerakan aksi tersebut, yang dimana pada hakikatnya tuntutan aksi tersebut meminta asas keadilan dan profesionalitas para pejabat Polda Sulsel agar tidak memberikan perlindungan terhadap para pelaku oknum-oknum yang terlibat terhadap kejahatan pelanggaran HAM berat.
Pahlevi juga menambahkan, GMP ELIT, Gerakan Mahasiswa Pemuda Elang Timur Indonesia bersama elemen masyarakat sipil akan terus giat melakukan monitoring pengawasan kepekahan jajaran pejabat Polda Sulsel terkait tuntutan aksi,
terkhususnya penegasan bapak Kapolda Sulsel dan Propam Polda Sulsel dalam melakukan penegakan hukum terhadap para pelaku jaringan kejahatan pelanggaran HAM berat.
“Kami tidak ingin hukum menjadi alat kekuasaan individu oknum kepolisian yang selalu mengarahkan Hukum pada keinginan pribadinya.
Haqikat peradapan Hukum itu adalah keadilan yang menjamin setiap keamanan, kenyamanan serta ketentraman yang menjadi pedoman kita dalam berbangsa dan bernegara.” tutupnya.

